








Situs Watu gilang
WATU GILANG MALANG
Wilayah Kabupaten Malang, Kecamatan Pujon lebih tepatnya di Desa Ngabab. Desa itu memiliki peninggalan bersejarah berupa formasi batuan andesit memanjang dengan panjang 28 meter dengan tinggi 4 meter. Warga setempat menyebut situs tersebut dengan nama Watu Gilang. Pada areal Watu Gilang tersebar beberapa peninggalan yang diyakini sebagai makam para leluhur. Akan tetapi, sebagaimana penemuan bersejarah lain yang berupa makam, tidak selalu dapat dipastikan bahwa terdapat seseorang yang dikuburkan di tempat tersebut. Hal ini bisa saja berupa makam-makam semu. Lokasi dari Watu Gilang berada di atas puncak gunung dan berbatasan dengan gunung Dworowati di sisi selatan.
Dijelaskan oleh Stutterheim, pada masa Majapahit, mulai berkembang tradisi neo-megalitik. Tradisi ini bercirikan melakukan revitalisasi terhadap situs megalitik yang ada. Dalam penelitian selanjutnya, hal ini diperkuat kembali bahwa fungsi dari bangunan neo-megalitik adalah sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang, pemujaan terhadap dewa gunung, dan kresiyan dengan menggunakan situs yang telah ada sebelumnya (Marsudi, 2015:86).Menurut Dwi Cahyono, Watu Gilang merupakan bentuk dari peninggalan tradisi neo-megalitik. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan prasasti Selabraja yang terletak di Dusun Selobrojo, Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang. Prasasti ini berangka tahun 1336 saka atau 1414 Masehi dalam masa pemerintahan Raja kelima Majapahit Wikramawarddhana.
Dalam prasasti tersebut menyebutkan dua buah tempat penting, yaitu Mandala Awaban dan Sagara.Dalam prasasti Selabraja, menurut Dwi Cahyono, Mandala Awaban merupakan dugaan nama kuno dari Watu Gilang saat ini. Bangunan Watu Gilang yang berbentuk seperti benteng sebenarnya adalah tanggul untuk penahan kontur tanah bertebing.Adapun perkiraannya masih terdapat bangunan induk, tetapi masih belum ditemukan. Jika melihat corak bangunan megalitik, maka bisa didapati teras-teras berundak dengan bangunan induk berada pada bagian atas disertai altar sesajian. Apabila Watu Gilang memang dijadikan sebagai objek pemujaan, maka dapat diperkirakan terdapat beberapa arca yang digunakan sebagai media pemujaan. Sesuai dengan tradisi neo-megalitik, Watu Gilang merupakan bentuk kontinuitas dari budaya megalitik yang direvitalisasi kembali pada masa Majapahit.
Sedangkan, nama dari Watu Gilang Sendiri sebagaimana pernyataan Dwi Cahyono merupakan nama-nama yang diberikan pada situs atau peninggalan yang biasanya berbentuk balok atau batu persegi panjang untuk struktur bangunan. Menurut pendapat lain di areal tersebut pernah terjadi pertempuran antara pasukan Singosari melawan Kediri. Penguasa Gelang-Gelang (Kediri) yaitu Jayakatwang menyerang Singosari dari arah selatan dan utara. Dijelaskan jika Watu Gilang adalah benteng dari kerajaan Singosari untuk melawan Kediri. Lokasinya yang berada di puncak gunung memang strategis untuk pertahanan.
https://museum-singhasari.site/id/
-